Sabtu, 04 Desember 2010

BAB II

Kulanjutkan perjalananku ke dalam sambil melihat sekeliling ruangan yang didekorasi hampir mirip gereja. Diatasku tergantung lampu kristal yang disusun secara rumit membentuk segitiga piramid. Cahaya oranye yang dipancarkannya membuat sekeliling ruangan tampak klasik. Jendela-jendela mozaik disampingku merefleksikan cahaya oranye lampu dan membuatnya berkilat-kilat dimataku. Sangat indah. Lantai dibawahku terbuat dari marmer putih kecoklatan dan memantulkan bayangan orang-orang yang melintas diatasnya.
“Cantik sekali tempat ini Theo”. Mata Civ mengitari ruangan dengan penuh kekaguman. Perkataanya barusan kubalas dengan anggukan. Semenit kemudian kami semua, mahasiswa baru Universitas Sorbonne, dihadapkan pada sebuah pintu besar menjulang dengan daun pintu warna emas. Pintu ini terbuat dari kayu yang terlihat sangat kuat dan kokoh. Seakan-akan hanya gempa terburuk saja yang bisa merubuhkannya. Terdengar suara pria di belakangku. “Maaf permisi”. Seorang pria tegap rambut berantakan yang mengenakan sweater bludru warna hitam bergerak melewatiku dan berjalan kearah pintu besar didepanku. Pria itu mencoba membuka sesuatu di pintu besar itu dan ternyata sebuah panel. Panel itu berisi tombol yang sekilas terlihat ada tiga buah. Tanpa pikir panjang pria itu memencet tombol yang paling kiri, dilanjutkan menekan tombol yang berada disebelahnya. Terdengar suara cukup keras.”Kreeek”. Suara engsel pintu yang sudah berkarat dengan frekuensi kira-kira 1500Hz masuk ke telingaku dan membuat seluruh rahang dan gigiku bergetar ngilu. Pintu sialan. Pria itu tersenyum. Sepertinya ia puas melihat reaksi para mahasiswa baru mendengar suara pintu besar sialan itu. Pintu besar itu pun terbuka sedikit dan memperlihatkan celah kecil kira-kira tiga puluh lima sentimeter tepat di hadapanku. Melalui celah kecil itu kulihat sebagian kecil isi ruangan yang dipenuhi kursi kayu coklat tua. Pintu sudah terbuka, walaupun baru setengah saja, hawa dingin ruangan langsung menerpa wajahku. Mataku dan telingaku dingin. Hal pertama yang menarik perhatianku dari ruangan ini ialah pilar besar putih, seperti pilar zaman romawi kuno, berdiri tegak di sisi-sisi ruangan. Kulihat ada enam buah pilar, tiga di kanan, tiga di kiri, dan setiap pilarnya diberi jarak lima meter. Di setiap pilar melekat sebuah AC. Bentuk AC itu tidak lazim karena dibuat desain vertikal mengikuti bentuk pilar. Kuselidiki tulisan artistik di sebelah atas AC itu, sebuah tulisan merek kurasa. Sorbonne. Baru kusadari ternyata desain vertikal AC itu buatan Sorbonne. Kujelajahi ruangan ini dengan tas berat di tangan kiriku. Di dinding, tergantung lukisan dengan pigura dari kayu yang diukir, jumlahnya enam belas, berisikan lukisan orang-orang yang asing di mataku. Dibawah setiap lukisan terdapat sebuah papan yang bertuliskan nama dan tahun. Namun, pandanganku langsung tertuju pada sebuah lukisan yang terletak paling jauh dariku. Kuhampiri lukisan itu. Tidak asing lagi sosok didalam lukisan ini. Tertulis.

Prof. Franklin Wilkinson Msc. Phd.
2008 - . . . .

Isi lukisan dihadapanku sekarang adalah sesosok laki-laki tua, namun masih terlihat enerjik, rambut putihnya tebal disisir kebelakang, senyumannya begitu ramah, dan ia terlihat sedang memegang sebuah buku. Saat itu juga, terdengar suara serak bercampur gemerisik dari speaker di sudut tembok sebelah kananku. “Mahasiswa baru Sorbonne, diharapkan menempati kursi yang sudah disediakan”. Suara itu tak asing lagi di indera pendengarku. Secepat kilat terlintas dipikiranku seorang wanita beralis mencuat dua puluh lima derajat. Clement Sivonda. Langsung saja kuhilangkan bayangan seseorang dipikiranku itu dan tersadar bahwa aku terpisah dengan Civ. Ketika pandanganku sedang mencari-cari keberadan Civ, kulihat Civ sudah duduk di kursi barisan kedua dari depan. Civ melihatku dan ia melambaikan tangannya. Aku langsung menghampirinya, sedikit terburu-buru, karena sepertinya acara akan segera dimulai. Disebelah Civ ada seorang pria sedikit berjanggut sedang berbincang dengannya. Alis pria itu tebal seperti daun pohon pinus. Rambut pria itu berantakkan seperti tidak disisir. Pria itu mengenakan kemeja putih dengan dasi warna merah hati tergantung di lehernya. Sangat rapi. Namun, kulihat kerah belakangnya sedikit berantakan. Dengan kerah seperti itu, dari belakang, ia terlihat seperti Count Dracula. Kutelusuri celah-celah kursi yang sudah ditempati mahasiswa lain untuk mencapai kursi disebelah Civ. “Maaf, permisi…permisi”. Seketika terdengar suara. “Brukkk”. Aku terkesiap. Pandanganku langsung terarah ke sumber suara. Di panggung, kulihat dua orang lelaki besar sedang mengusap keringatnya setelah menjatuhkan mimbar pidato di depan mereka. Mereka tampak lega telah menyelesaikan tugasnya. Mimbar itu terbuat dari kayu yang diukir rumit ala seniman Eropa. Ditengah-tengahnya diukir lambang Universitas Sorbonne. Diatas mimbar terdapat mikrofon wireless dengan busa warna hitam. Seketika terdengar suara Civ. “Theo, kemana saja kau?”.
“Emm, barusan, melihat –lihat sekitar, maaf tadi meninggalkanmu”.
“Sudahlah, tadi aku juga tak sadar terpisah denganmu. Theo, kenalkan ini temanku dari Spanyol”. Pria alis daun pohon pinus disebelah Civ tadi berusaha menyingkirkan tas dipelukannya. Tangannya melewati Civ sebelum meraih tanganku. Sambil tersenyum ramah, dan sedikit goyangan tangan, sebuah nama keluar dari mulutnya.
“Jose.. Jose Sargas, saya mahasiswa Spanyol”.
“Theo.. Theodore Wilson, saya mahasiswa Inggris ”.
Tangannya dingin, namun jadi terasa hangat saat memandang wajahnya yang ramah tapi tetap tegas. Terdengar lagi suara seseorang di mikrofon yang kembali membangkitkan ingatanku pada seseorang. Clement Sivonda. Ia membuka acara penyambutan mahasiswa baru Sorbonne dengan penuh dedikasi. Alisnya naik turun ketika setiap kata keluar dari mulutnya. Gesturenya memperlihatkan bahwa ia tak canggung dan tidak ada sedikitpun rasa nervous dalam dirinya ketika bertatapan dengan seribu pasang mata sekalipun. Ia memberi informasi bahwa setelah ini Rektor Universitas Sorbonne yang tadinya diragukan datang akan memberikan sambutan. Sampai akhirnya ia memanggil sebuah nama, yang sudah familiar di telingaku. Setelah nama itu disebut olehnya, seorang pria tua keluar dari pintu disamping panggung. Pria itu membawa tongkat hitam bergagang bengkok di tangan kanannya. Jas hitamnya sangat pas melekat dibadannya, dengan dasi yang rancangannya belum pernah aku lihat dimanapun. Rambut putih tebal disisir kebelakang pria itu yang sedikit tertiup angin AC membangkitkan memoriku. Prof. Franklin Wilkinson. Ia berjalan menuju mimbar dengan penuh wibawa. Suara langkah kakinya yang dibalut sepatu pantofel hitam dan suara tongkat di tangan kanannya berpadu saat keduanya mencium lantai panggung. Ia berpidato tanpa teks. Setiap kata yang keluar dari mulutnya membuat bulu kudukku merinding. Selama ia berpidato, pandanganku seakan tak mau lari darinya. Ia begitu karismatik di mataku. Civ dan Jose disebelah kananku sepertinya merasakan hal yang sama denganku. Pidato Prof. Wilkinson terbilang singkat, hanya enam menit, tetapi sangat berbobot. Pidato Prof. Wilkinson ditutup dengan kata-kata yang sangat inspiratif. Dengan suara berat penuh wibawa yang sangat khas. “Selamat datang di Sorbonne para mahasiswa terpilih, masa depan Sorbonne ada di tangan kalian”. Tanpa pikir panjang, ia meninggalkan mimbar pidato tanpa memedulikan ekspresi kekaguman yang dikeluarkan para mahasiswa yang saat ini sedang terdiam. Lalu tepuk tangan tiba-tiba membahana. Badanku merinding. Seketika lemas. Jantungku berdegup kencang dan membuat aliran darahku semakin cepat. Sehingga, hawa dingin AC kreasi Sorbonne pun tak berani hinggap di tubuhku. Masa depan Sorbonne ada di tangan kalian. Sangat inspiratif. Kalimat ini cukup lama berputar-putar di otakku. Setelah mendengar pidato yang begitu inspiratif dari Prof. Wilkinson barusan, semangat belajarku berapi-api, meronta-ronta ingin keluar. Namun, semangatku turun beberapa level ketika Clement Sivonda naik ke panggung. Bagaikan awan mendung di hari yang cerah. Clement membacakan acara selanjutnya yaitu makan siang. Mendengar itu, rasanya awan mendung di hari yang cerah baru saja hilang. Semua berawal pagi tadi, karena takut tertinggal bus Sorbonne Express, sarapan tidak menjadi prioritas, yang menjadi prioritas adalah sampai di Sorbonne tepat waktu. Sejak pagi, perutku hanya diisi secangkir kopi hangat, yang mungkin sekarang sudah menguap. Seluruh tubuhku, terutama perutku, begitu antusias menyimak setiap kata yang dilontarkan Clement dan menanti saat dimana ia mempersilakan para mahasiswa mengambil hidangan. Perutku bersorak-sorai saat melihat pertanda bahwa Clement akan mempersilakan kami semua untuk mengambil hidangan. “Kepada seluruh hadirin dan para mahasiswa Sorbonne dipersilakan mengambil hidangan di ruangan sebelah kanan”. Setiap huruf begitu cepat keluar melintasi bibir Clement. Sepertinya ia juga sudah tidak sabar untuk makan siang. Kulihat disebelahku Civ tertawa kecil melihat tingkah Clement barusan. Di saat yang hampir bersamaan, pintu ruangan sebelah kanan mulai terbuka dan mengeluarkan aroma yang membuat perutku semakin meronta-ronta. Perutku bersuara. Kutahan perutku dengan tangan. Saat pintu sudah benar-benar terbuka, Aku, Civ, Jose, dan mahasiswa lain bangkit dari kursi. Tas dan berbagai perlengkapanku kutinggal di bawah kursi. Melihat mahasiswa lain berjalan lambat menuju ruang makan, membuatku makin tak sabar. Rasanya, ingin kudorong-dorong mereka sampai berjatuhan. Akhirnya, tiba giliranku untuk mengambil makan. Makanan dari berbagai benua yang disediakan Sorbonne terhampar didepanku. Aku berjalan kearah makanan yang belum pernah kucoba. Sushi. Jujur aku belum pernah mencicipi makanan khas Jepang ini. Kuambil tujuh sushi yang sebelumnya telah kuseleksi dari segi ukuran, yang paling besar kuambil, lalu kutaruh dipiring hitam. Ketujuh sushi tadi kutambah lagi dengan semacam bumbu tambahan, teksturnya seperti pasta gigi, dan aku tak tahu bumbu apa itu. Setelah mendapat makanan, kulihat Civ berjalan menuju jendela kaca yang memperlihatkan pemandangan taman Universitas Sorbonne. Disana, Civ berdiri sendirian sambil melihat keluar jendela. Saat itu juga, dari belakang, seseorang memanggilku. “Theo, ayo kita kesana, Civ sepertinya sudah lama menunggu kita”. Ternyata suara Jose. Aku mengangguk. Sedikit kaget. Hampir saja kujatuhkan sushi dari tangan kananku ini. Kami bertiga berdiri menghadap luar jendela kaca. Taman Universitas Sorbonne sedang tidak berbunga. Musim dingin di Perancis menyebabkan bunga-bunga tak mau keluar.
“Civ, kau mengambil makanan apa?”. Aku bertanya
“Aku mengambil salad, kau sendiri Theo?”.
“Aku mengambil sushi, kau mau mencoba Civ?”. Mencoba menawari. Padahal, tujuh sushi saja belum tentu bisa memuaskan cacing-cacing diperutku.
“Terima kasih Theo. Tapi aku seorang vegetarian”.
“Bagaimana denganmu Jose?”. Aku bertanya sambil mengintip makanan Jose dari belakang Civ. Kulihat sekilas, makanan itu seperti omelete gulung dan diberi saus cabai. Namun, teksturnya lebih keras.
“Kebab, aku ambil kebab, yang kutahu makanan Turki ini lezat”. Cara Jose menyebut kebab ia buat seperti logat orang Turki. Aku dan Civ tertawa mendengar Jose menyebut kebab. Pada saat suapan sushi pertama, kurasakan lidahku panas. Makin lama lidahku seperti disiram kopi panas. Sedikit terbatuk menahan pedas. “Kau tersedak?”. Jose penasaran melihatku terbatuk pada suapan pertama sushiku. Civ melihat kearahku dan kearah makananku. “Theo, kau terlalu banyak memberi wasabi di sushimu”. Pekik Civ sambil tertawa. Wasabi. Wasabi. Wasabi. Jadi ini yang namanya wasabi. Pedas bukan main. Setelah makan, di depan ruang makan, kami bertiga dan mahasiswa Sorbonne lain diberi sebuah kartu kamar asrama. Kartu ini sebagai kunci elektrik untuk membuka kamar. Setiap mahasiswa mendapat satu kamar. Aku mendapat kamar nomor 146, Jose kamar nomor 157, dan Civ kamar nomor 111. Kamar kami bertiga terpisah jauh, kami bertiga memutuskan untuk bertukar nomor handphone agar kami tidak putus kontak nantinya. “Theo, Jose, jangan lupa telpon aku”. Civ melambai sambil mendorong troli berisi perlengkapannya. Pergi menjauhi kami berdua. Menyisakan Aku dan Jose. Kami berdua menyusuri jalan asrama yang didindingnya melekat lampu-lampu klasik. Dindingnya diberi wallpaper berwarna coklat yang membuat koridor ini terasa lebih nyaman. Lantai dibawah kami berdua terbuat dari marmer berwarna coklat tua, disusun selang-seling dengan marmer warna putih yang ditengahnya terdapat huruf S warna coklat tua. Tiga menit kami berdua berjalan, sampailah kami berdua di depan kamar nomor 157, kamar Jose. Dibawah nomor kamar berwarna emas itu tertulis Jose Sargas, Spain.
“ Theo, ada sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu, temui aku di taman Sorbonne jam tujuh sore”.
“Kenapa tak kau tunjukkan sesuatu itu sekarang saja, Jos?”. Aku mulai diliputi rasa penasaran. Raut muka Jose sangat serius. Membuat rasa ingin tahuku memuncak. “ Ah, sudahlah Theo, kau jangan banyak tanya, jika kau ingin tahu, jam tujuh sore di taman Sorbonne, ingat, jam tujuh sore”. Setelah menyelesaikan kalimatnya, Jose bergegas mengeluarkan kartu kamar dari saku sebelah kiri kemeja putihnya dan menggesekkannya kesebuah slot yang menempel di pintu, terdengar bunyi bip. Pintu pun terbuka. Jose masuk sambil membawa perlengkapannya. Sebelum Jose menutup pintunya, ia menatapku dengan serius. “Ingat, jam tujuh sore, taman Sorbonne”.[]

0 komentar:

Posting Komentar