Sabtu, 04 Desember 2010

BAB I

Tubuhku terasa menggigil menyusuri jalan utama kota Paris , Perancis, sambil ditemani secangkir kopi yang kubeli di persimpangan jalan depan kedutaan besar republik Irlandia. Suhu Paris pagi ini minus 5 derajat yang membuat jalanan yang kulalui licin. 
“Awas…!!!”teriakku. di depanku seorang wanita hendak menyebrang jalan dan hampir tertabrak sepeda motor pizza yang sepertinya sudah telat mengantar pesanan. 
“ Kau tak apa nyonya?”tanyaku. Wajah wanita itu pucat seperti habis mendapat berita bahwa ia akan mati besok. 
“Huuh.. terimakasih Nak kau memperingatkanku tadi, hampir saja aku mati konyol tertabrak motor sialan itu”jelas wanita itu. 
“ Siapa namamu nak?” Ia balik bertanya sambil mengulum senyum ringan.
“Nama saya Theo , Nyonya?”.
“Nama saya Leovi” .
Ketika ia memberitahu namanya, bus jurusan Sorbonne tiba. Suara klakson bus berwarna putih kusam ini keras seperti klakson kapal, tak sabar menungguku untuk masuk. Disebelah kanan dan kiri badan bus tertulis SORBONNE EXPRESS. “Ny.Leovi, maaf saya harus pergi sekarang, senang berkenalan dengan anda”. Aku pun masuk dengan tergesa-gesa sambil menunjukkan kepada sopir kartu mahasiswa Sorbonne yang kudapat tiga hari lalu sebagai bukti bahwa aku adalah salah satu mahasiswa disana. Wajah sopir bus itu begitu berlemak. Sopir bus ini membuat senyum kecil muncul di mukaku yang kalau dilihat dari jauh seperti vokalis the beatles Paul Mccartney ketika tersenyum menyapa penggemarnya. Kuberjalan melintasi kursi-kursi bus yang terbuat dari kulit sintetis khas Perancis dan diatasnya duduk orang-orang yang tak kukenal, terlihat dari kilatan matanya menunjukkan bahwa mereka golongan ber-IQ tinggi. Kulihat di pojok belakang ada satu kursi kosong yang telah menungguku untuk disinggahi. Disebelah kirinya duduk seorang wanita berambut hitam pendek sedikit pirang jika terkena sinar matahari, matanya bulat menarik, badan proporsional. Ia terlihat sedang menelepon seseorang lewat telepon genggamnya yang berwarna hitam mengkilap dengan vocal Perancis yang sangat kental. “Permisi nona”ucapku seraya mengangkat tasku tinggi-tinggi agar tak mengenai wajahnya yang cantik, lalu kutaruh ransel hitamk ini di rak bus. Wanita itu sepertinya tak menghiraukan kehadiranku. Kutaruh tasku yang satunya dibawah kursiku sambil memandang sekilas wanita mempesona yang duduk disampingku. Sekilas kulihat di betisnya ada tato seperti sebuah huruf, kucermati ternyata sebuah huruf V romawi kuno hitam legam. Kutarik pandanganku dari kakinya dan sesegera mungkin kembali ke posisi semula setelah aku mendengar suaranya mengakhiri perbincangan. Mulai terlihat senyum manisnya sambil menyapaku.
“Hai, namaku Civint, panggil saja Civ, siapa namamu?”. Aku suka saat ia menyebutkan namanya dengan logat Perancisnya, seperti berkata Civing. 
“ ehm.. namaku Theo..dore Wil..son, panggil saja The..o”. Tanganku berkeringat, tanpa sadar kusebutkan nama lengkapku.
“Theo, nama yang bagus kurasa, sepertinya kau bukan dari Perancis”.
“Kau benar, saya bukan dari Perancis, saya mahasiswa Inggris, kau sendiri pasti dari Perancis?”. Pertanyaan yang bodoh, dengan mendengar suaranya saja orang pasti bisa berspekulasi bahwa ia warga asli Perancis. “Iya saya warga asli perancis”. Civint tersenyum kecil.
Bus melaju dengan kencang. Melintasi jalan kota Paris yang dipenuhi bangunan-bangunan kuno bernilai estetik tinggi. Namun, terkadang diselingi bangunan modern yang tak kalah indahnya. Di pinggir jalan terlihat pohon Ek yang sepi dedaunan dan digantikan dengan es yang menyelimuti tangkai-tangkai besarnya. 
“Civ, apa setiap musim dingin di Perancis sedingin ini?”. Kakiku mati rasa. Diikuti semburan asap dari mulutku ketika menghembuskan nafas, seperti merokok kurasa. 
“Oh tentu tidak, hari ini belum seberapa dibanding puncak musim dingin yang terjadi kira-kira lima hari lagi, tahun lalu suhu puncak musim dingin di Perancis mencapai minus lima belas derajat!”. Cara bicaranya seperti orang Eskimo yang tak sabar lagi menghadapi musim dingin paling dingin sekalipun. Gila, minus lima belas derajat, akan jadi apa tubuhku dengan suhu seekstrim itu. Terdiam sejenak. 
“Minus lima belas derajat, kau yakin itu?”. Otakku dipenuhi ketidakyakinan akan hal yang barusan dikatakan Civ. 
“Aku yakin, bahkan suhu hari itu bisa lebih buruk lagi”. Bisa lebih buruk lagi, bisa lebih buruk, lebih buruk, BURUK. Kata-kata Civ melayang dipikiranku.
Dari jendela bus yang dipenuhi embun, kulihat plakat besar mengkilat yang terbuat dari batu granit hitam dengan tulisan berwarna keperakkan.

UNIVERSITY DE SORBONNE

Tak kusangka perjalanan kira-kira empat puluh lima menit terasa sangat singkat. Kulihat sebelah kiriku, Civ, kusadari dialah faktor penyebab perjalanan ini menjadi terasa sangat singkat.
Bus pun berhenti tepat di depan pintu masuk utama Universitas Sorbonne. Terlihat seorang wanita berdiri di pintu masuk utama. Rambut wanita itu didominasi warna putih walaupun terlihat sekilas ada beberapa rambut hitam yang masih bertahan di kulit kepalanya. Alisnya yang kira-kira dua puluh lima derajat mencuat keatas mengambarkan sifatnya yang sangat tegas dan tak ragu-ragu menghajar seseorang yang berani macam-macam dengannya. Kedua tangannya disilangkan didadanya dan terkadang melihat jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. Di dalam bus kusam ini, mahasiswa lain sibuk menurunkan perlengkapannya yang ditaruh di rak bus. Mereka turun dari bus dengan penuh keyakinan dan wibawa, tak terlihat sedikitpun wajah tegang. Dengan sedikit bantuan tangan kananku yang memegang pegangan diatas jendela bus aku bangkit dengan malas karena menyadari perlengkapanku yang berat di rak bus menantiku untuk diambil. Didepanku, Civ, dengan tergopoh-gopoh membawa perlengkapannya sambil menyusuri sederetan kursi bus yang menghimpit kami. “ Civ, biar kubantu”. Sambil tersenyum aku meraih tas di tangan kanannya. Ia membalas senyumku, tapi terlihat berbeda dari sebelumnya karena terlihat senyuman geli. Tak kuhiraukan senyuman Civ barusan dan kulanjutkan perjalananku menuju pintu bus paling depan. Namun, setelah kuambil langkah yang pertama baru kusadari senyuman Civ barusan, Tas Civ berat sekali, seperti membawa tabung oksigen dengan berat 14,6 kilogram. Perjalananku dengan tas berat Civ menyisakan satu seperempat meter lagi. Kutahan wajah lelahku agar tak terlihat Civ. Tanganku sedikit kram. Ayo Theo sedikit lagi…sedikit lagi sampai. Civ sudah menungguku didepan pintu bus. Wajahnya seperti ingin tertawa namun sedikit ditahan. Ia meraih tasnya di tangan kananku. Dan mulai berjalan beriringan denganku. Di pintu utama Universitas Sorbonne, terlihat mahasiswa lain sedang menyalami wanita yang dari tadi sudah menunggu kami di pintu utama ini. Pintu utama Universitas Sorbonne begitu mewah dengan pahatan yang tak sembarang orang bisa membuatnya. Selain disambut wanita beralis mencuat kami juga disambut sebuah patung yang terbuat dari pualam putih yang sudah kusam. Sudah tak asing lagi di mataku patung ini adalah alumnus Universitas Sorbonne, seorang ekonom terkenal, Adam Smith. Melihat patung itu rasanya nyaliku menciut dan merasa tak pantas berada disini. Kualihkan pandanganku dari patung Adam Smith ke sesuatu yang berkilat disamping kiriku. Kulihat tanda pengenal berwana perak mengkilap di sebelah kanan dada wanita itu. Clement Sivoda, nama yang aneh. Tiba giliranku menjabat tangannya. Sambil meremas tanganku dengan sedikit gerakan lengan. Terdengar suara serak keluar dari mulutnya. “Selamat datang di Sorbonne”. []

0 komentar:

Posting Komentar